Jumat, 03 Juli 2009

KUNJUNGAN KERJA PEJABAT DAN “ BUDAYA AMPLOP ”

Kunjungan kerja pejabat pada dasarnya merupakan suatu hal yang wajar dalam rangka melakukan pengawasan serta pembinaan kepada bawahan. Namun yang membuat hal ini menjadi tidak wajar apabila disertai dengan kewajiban untuk menyerahkan “amplop” sebagai upeti. Kebiasaan ini seakan – akan telah berurat berakar menjadi sebuah identitas mental para pejabat.
Entah para pejabat yang terhormat itu sadari atau tidak, bahwa apa yang mereka terima tidak mungkin berasal dari uang pribadi. Tapi itu adalah uang yang bersumber dari anggaran negara yang seharusnya dialokasikan untuk kegiatan operasional instansi. Makanya tidak heran, jika banyak instansi negara yang minim fasilitas meskipun dengan anggaran yang sebenarnya cukup memadai.
Lucunya pesan dan amanat yang sering diutarakan oleh pejabat ketika melakukan kunjungan kerja adalah ”fasilitas kantor harus segera dibenahi dan dilengkapi agar pekerjaan bisa efektif dan efisien”. Kita sangat setuju sekali 200 %. Pertanyaannya, bagaimana mungkin fasilitas kantor bisa dibenahi dan dilengkapi kalau setiap tahun anggaran cuma habis buat isi amplop?
Sangat memprihatinkan memang, ditengah gencarnya pemerintah melakukan upaya pemberantasan KKN dalam tubuh birokrasi ternyata masih ada juga oknum pejabat yang betah dengan budaya zaman batu (baca : orde baru). Lebih ironis lagi bila para pejabat tersebut notabene adalah mereka yang berada pada salah satu instansi penerima remunerasi atau tunjangan kinerja. Suatu instansi yang seharusnya menjadi teladan dan panutan bagi instansi lain dan masyarakat pada umumnya, tapi sekali tiga uang ternyata tidak ada bedanya. Padahal konsekuensi dari remunerasi itu seharusnya mampu merubah paradigma serta mentalitas pegawai negeri menjadi lebih bermoral dan beretika disamping mampu menggenjot disiplin kerjanya. Lalu kira – kira apa yang belum diberikan oleh negara? Bukankah taraf penghasilan sudah diperbaiki dengan adanya tunjangan kinerja, fasilitas berupa rumah dinas, kendaran dinas sudah disediakan, dan untuk melakukan kunjungan kerja sudah ada biaya perjalanan dinas yang disiapkan dalam anggaran negara. Lalu apa lagi yang kurang? Bisa jadi rasa malu yang kurang! Namun para pejabat seperti ini tetap patut kita beri aplaus, karena bagaimanapun juga mereka telah ikut berjasa dalam mempertahankan prestasi kita sebagai negara terkorup di Asia.
Hal ini sepatutnya menjadi bahan introspeksi diri bukan hanya untuk pejabat tapi juga untuk yang kelak bakal jadi pejabat. Sejatinya para pejabat adalah panutan dan teladan moral yang perkataannya didengarkan dan perbuatannya dicontoh oleh bawahan. Kalau pejabat dapat memberikan teladan moral yang baik dimana terdapat sinkronisasi antara ucapan dan perbuatannya, maka tentunya akan memberikan sugesti positif bagi para bawahan. Namun kenyataan yang terjadi malah pejabat memberikan contoh yang buruk serta mewariskan budaya – budaya yang tidak etis, akhirnya ketika terjadi regenerasi dimana bawahan telah menjadi pejabat maka sejarah kembali berulang. Ibarat lingkaran setan yang tidak bisa terputus.
Lalu solusi apa yang bisa kita tawarkan untuk melakukan perubahan? Karena tentunya bangsa ini tidak akan rela bila generasi penerusnya hanya mencontoh keburukan serta budaya korup dari para pendahulunya. Bangsa ini pun tidak rela jika kekayaan negaranya hanya menguap begitu saja ditangan orang – orang yang tidak mampu menjaga amanah. Bangsa ini juga tidak boleh selamanya terpaku dalam ruang perdebatan mana yang etis dan tidak etis, mana yang bermoral mana yang tidak, pada saat bangsa – bangsa lain telah jauh berpacu memajukan kesejahteraan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologinya.
Oleh karena itu rekonstruksi mental harus menjadi agenda utama untuk melakukan perubahan. Mengapa? Karena Mental - menurut Benny H. Hod dalam salah satu makalahnya mengutip pemikiran Fernand Braudel (seorang sejarawan Prancis) - adalah sesuatu yang tertanam dalam lubuk budaya suatu masyarakat yang bentuk luarnya adalah reaksi spontan (otomatis) manusia sebagai anggota masyarakat terhadap masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi. Artinya mental inilah yang menjadi intisari yang mewarnai budaya. Adapun reaksi spontan manusia terhadap berbagai isu permasalahan tidak lain adalah prilaku. Endapan dari sekumpulan prilaku ini kemudian membentuk suatu sistem budaya. Singkatnya, mental yang bagus akan mendorong perilaku positif dan pada akhirnya akan membentuk sistem budaya yang baik pula.
Persoalannya, untuk melakukan rekonstruksi mental tidaklah mudah. Butuh waktu yang cukup panjang, kesabaran, keinginan yang kuat serta dukungan dari seluruh elemen bangsa. ”Budaya amplop” hanyalah salah satu implikasi betapa mental bangsa kita telah mengalami pembusukan sejak lama, entah sejak kapan dimulai namun kenyataannya budaya kita saat ini telah tersistem oleh berbagai perilaku buruk yang berurat berakar pada mental yang buruk. Lalu apa yang harus dilakukan agar hal ini tidak berlangsung terus menerus? Tentu mata rantai pewarisan budaya seperti ini harus kita putus agar tidak berlanjut sampai ke generasi berikutnya dan harus dilakukan sekarang ! Caranya bagaimana ?
Masih mengutip Benny H. Hod (Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI), bahwa perubahan mentalitas dapat dipercepat apabila terus menerus dipengaruhi oleh sejarah peristiwa, dimana sejumlah peristiwa dapat memaksa terjadinya perubahan paradigma. Maksudnya, dibutuhkan penciptaan suatu iklim yang dapat mendorong terjadinya perubahan pola pikir masyarakat baik secara sadar maupun terpaksa. Pendidikan anti korupsi yang ditanamkan sejak dini bagi anak usia sekolah mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi, sosialisasi dengan memanfaatkan berbagai akses informasi, melalui iklan di TV, radio, artikel di surat kabar, majalah, internet dll. tentang nistanya perbuatan korupsi menggunakan uang negara tanpa hak adalah contoh kongkrit yang harus dilakukan secara berkesinambungan. Mekanisme reward and punishment, memberikan penghargaan dan dukungan bagi mereka khususnya para pejabat yang jujur dan bersih serta hukuman yang betul – betul menyengsarakan dan menistakan bagi pejabat yang korup seberapa pun kecil yang diambilnya dengan tanpa hak, harus menjadi budaya baru yang kita wariskan kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian, embrio budaya – budaya yang tidak etis akan terputus dengan sendirinya.
Selanjutnya pemerintah harus menciptakan ruang yang kondusif agar mekanisme pengawasan dari dua arah, top down and bottom up dapat terbentuk secara sinergis dan proporsional. Top down berarti pemerintah harus memiliki seperangkat aturan yang bekerja secara harmonis dan tegas memberikan sanksi yang menjerakan. Bottom Up berarti masyarakat diberikan peluang serta akses untuk pengaduan dan penyaluran aspirasi. Diharapkan dengan terciptanya mekanisme seperti ini, penguapan anggaran negara akibat ulah pejabat yang tidak bermoral dapat direduksi atau bahkan dihentikan sama sekali.
Pada akhirnya, kita optimis dengan rekonstruksi mental yang didukung oleh semua elemen bangsa mulai dari praktisi, akademisi, mahasiswa dan masyarakat maka kedepan bangsa ini akan diwarnai oleh kehadiran para pejabat yang bersih jujur dan amanah.